Deno itu worth it nggak buat kamu coba? Aku share pengalamanku.

Deno itu worth it nggak buat kamu coba? Aku share pengalamanku.
Photo by Florian Olivo / Unsplash

Okay, jadi gini... dunia programming itu cepet banget berubahnya, kan? Tiap sebentar ada aja framework baru, library baru, atau bahkan runtime baru yang muncul. Nah, salah satu yang belakangan ini cukup sering disebut-sebut, apalagi kalau kamu udah biasa ngoding pakai JavaScript di backend, adalah Deno.

Mungkin kamu udah familiar banget sama Node.js, yang udah jadi 'raja' buat ngejalanin JavaScript di luar browser selama bertahun-tahun. Tapi tiba-tiba muncul Deno, yang ternyata dibikin juga sama orang yang bikin Node.js pertama kali, Ryan Dahl. Pertanyaannya, kenapa sih harus ada Deno? Terus, buat kita-kita yang mungkin lagi belajar atau udah mulai ngoding, Deno ini worth it nggak sih buat dicoba?

Aku coba sharing pengalamanku waktu pertama kali iseng-iseng nyentuh Deno ya, biar kamu ada gambaran.

Deno itu Apa Sih Sebenarnya?

Secara simpel, Deno itu runtime buat ngejalanin JavaScript, TypeScript, dan WebAssembly. Sama kayak Node.js, tapi dia dibangun dari nol dengan beberapa ide yang beda banget dari Node.js. Ibaratnya, kalau Node.js itu 'komputer' yang udah lama tapi udah di-upgrade sana-sini, Deno itu 'komputer' baru yang dirancang pakai teknologi dan filosofi paling update dari awal.

Ryan Dahl sendiri bilang, dia bikin Deno buat memperbaiki beberapa 'kesalahan desain' yang dia rasa ada di Node.js waktu awal-awal dikembangkan. Apa aja tuh 'kesalahan' itu?

  1. Sistem Modul yang Ribet: Di Node.js, kita pakai require() (CommonJS) atau belakangan import() (ES Modules) dan harus banget install dependensi pakai npm, terus muncul folder node_modules yang gede banget.
  2. Keamanan: Node.js itu secara default punya akses penuh ke sistem file, jaringan, dan environment variables di komputermu. Kalau ada library yang jahil, dia bisa ngapa-ngapain tanpa izinmu.
  3. Tooling yang Kurang Lengkap: Node.js itu cuma runtime. Buat ngetes, format kode, linting, atau bundling, kita butuh tool tambahan kayak Jest, Prettier, ESLint, Webpack, dan harus setting satu-satu.
  4. Kurang Sinkron Sama Web Standards: Beberapa API di Node.js beda sama yang ada di browser (misalnya Fetch API).

Nah, Deno ini lahir buat ngasih solusi ke masalah-masalah itu.

Fitur-Fitur Keren Deno yang Bikin Pengen Nyoba

Waktu pertama kali nyoba Deno, beberapa hal yang langsung kerasa beda dan bikin aku 'wow' itu ini:

  1. Keamanan Jadi Prioritas Utama (Secure by Default):

Ini beda banget sama Node.js. Di Deno, program yang kamu jalanin itu kayak ada di dalam kotak pasir (sandbox). Secara default, dia nggak punya izin buat baca/tulis file di komputermu, nggak bisa akses jaringan, nggak bisa akses environment variables, dan nggak bisa jalanin proses lain. Pengalaman: Pas pertama kali nyoba jalanin script Deno yang mau baca file atau ngirim request ke internet, pasti langsung error permission denied. Awalnya agak kaget, kok gini amat? Tapi setelah paham, oh, ini justru bagus banget! Kita jadi harus* eksplisit ngasih izin apa aja yang boleh dilakuin script kita pakai flag --allow-read, --allow-net, --allow-env, dll. Ini bikin kita lebih mindful sama apa yang dilakuin dependensi kita.

  1. TypeScript Udah Built-in:

Kalau kamu suka pakai TypeScript (yang emang bagus banget buat project yang makin kompleks karena ada type checking), di Node.js kita perlu install typescript, ts-node atau setup build step pakai Webpack/Rollup buat bisa jalanin file .ts. Di Deno? Langsung jalanin aja file .ts kayak file .js biasa! Pengalaman:* Ini praktis banget. Nggak perlu pusing setup transpiler lagi buat project-project kecil atau script sederhana yang pakai TS. Deno langsung compile dan jalanin.

  1. Nggak Ada node_modules dan Install Dependensi Pakai URL:

Ini mungkin yang paling nyentrik dan beda dari Node.js. Di Deno, kamu nggak perlu install dependensi pakai perintah kayak npm install atau yarn install. Dependensi di-import langsung dari URL! Contoh:* import { serve } from "https://deno.land/[email protected]/http/server.ts"; Pengalaman:* Pas awal lihat ini, jujur agak aneh. Kok import dari internet? Gimana kalau URL-nya mati? Tapi Deno itu nge-cache dependensi yang udah di-download di komputer kita, jadi kalau udah pernah di-download, dia nggak akan download lagi kecuali versi di URL-nya berubah atau cache-nya kamu hapus. Kelebihannya, folder node_modules yang super gede dan bikin pusing itu lenyap! Project jadi lebih bersih. Terus, versi dependensi itu langsung kelihatan di kode kita (di URL-nya), jadi jelas banget pakai versi berapa. Kekurangannya, ya, kalau lagi offline pertama kali download ya nggak bisa (tapi kan dicache). Dan kalau mau update versi library, ya harus ganti URL import di kode kita (atau pakai import map). Ini memang beda filosofi, tapi buat project baru atau script, kerasa lebih simpel awalnya.

  1. Tooling Lengkap dalam Satu Executable:

Ini salah satu fitur favoritku. Deno itu nggak cuma runtime, dia udah punya tool-tool penting yang biasanya kita install terpisah di Node.js: * deno fmt: Buat format kode (mirip Prettier). * deno lint: Buat ngecek potensi error atau gaya kode yang nggak konsisten (mirip ESLint). * deno test: Buat jalanin unit test (mirip Jest/Mocha). * deno bundle: Buat nge-bundle kode jadi satu file JavaScript. deno compile: Ini keren banget! Bisa compile script Deno kita jadi satu file executable mandiri* (binary) yang bisa jalan di OS yang sama tanpa perlu install Deno di komputer tujuan. Pengalaman:* Pakai tool bawaan Deno itu rasanya ringkes banget. Nggak perlu setup file config prettierrc, .eslintrc, jest.config.js, dll. Cukup jalanin deno fmt atau deno lint di projectmu, dia langsung kerja. Fitur deno compile itu super useful kalau kita mau bikin tool command-line sederhana atau microservice yang mau di-deploy cepat tanpa harus mikirin runtime Deno di server tujuan.

  1. Mendukung Web Standards:

Deno berusaha banget ngikutin standar API yang ada di browser. Misalnya, Fetch API buat ngirim request HTTP, Web Crypto API buat urusan kriptografi, WebSocket API, dll. Pengalaman:* Kalau kamu sering ngoding frontend dan udah biasa pakai fetch, pindah ke Deno di backend rasanya mulus karena API-nya mirip. Nggak perlu belajar library baru lagi buat hal-hal dasar kayak gini.

  1. Top-level await Sudah Siap:

Kalau di Node.js versi lama, kamu cuma bisa pakai kata kunci await di dalam function yang dikasih async. Di Deno, kamu bisa pakai await langsung di level teratas sebuah modul, nggak perlu dibungkus async function lagi. Contoh:*

typescript
        // Di Deno, ini bisa langsung jalan di file .ts/.js
        const response = await fetch("https://deno.land");
        const text = await response.text();
        console.log(text);

Pengalaman:* Ini bikin nulis script-script sederhana yang asynchronous jadi lebih ringkas dan gampang dibaca.

Deno vs Node.js: Perbandingan Santai

Oke, kalau dibandingin sama Node.js yang udah mapan, gimana nih Deno?

  • Ecosystem: Node.js jelas menang telak di sini. Jutaan library tersedia di npm. Deno punya standar library sendiri (deno.land/std) dan banyak library komunitas (deno.land/x), tapi jumlahnya belum sebanyak Node.js. Meskipun begitu, Deno juga makin hari makin banyak library-nya, dan ada beberapa library Node.js yang bisa jalan juga di Deno pakai kompatibilitas layer.
  • Kematangan & Dukungan: Node.js udah dipakai bertahun-tahun di production skala besar. Komunitasnya gede banget, gampang cari solusi kalau ada masalah. Deno relatif baru, jadi mungkin support-nya belum semasif Node.js. Tapi tim Deno sangat aktif mengembangkan.
  • Performa: Ini tricky. Tergantung workload-nya. Kadang Deno lebih cepat, kadang Node.js. Keduanya pakai engine V8 Google yang kencang. Jadi, jangan jadikan performa sebagai satu-satunya alasan utama pindah, kecuali emang ada benchmark spesifik yang nunjukkin perbedaan signifikan buat kasusmu.

Kemudahan Belajar: Kalau udah ngerti JavaScript/TypeScript, belajar Deno itu nggak susah konsep dasarnya*. Yang perlu adaptasi itu cuma cara import module (URL) dan sistem keamanannya (permissions). Node.js mungkin terasa lebih 'bebas' awalnya, tapi Deno lebih 'terstruktur' dan 'aman' by design.

Jadi, Deno Itu Worth It Nggak Buat Kamu Coba?

Nah, ini intinya. Berdasarkan pengalamanku dan fitur-fitur Deno:

Deno Worth It Banget Buat Kamu Coba Kalau:

  1. Kamu Lagi Mulai Project Baru: Ini waktu terbaik buat nyoba Deno. Kamu bisa rasain langsung manfaat toolchain yang terintegrasi, keamanan default, dan import module via URL dari awal. Nggak pusing migrasi dari Node.js.
  2. Kamu Suka TypeScript dan Capek Setup Transpiler: Deno bakal jadi 'surga' buatmu karena TS udah first-class citizen.
  3. Kamu Peduli Sama Keamanan: Model keamanan berbasis izin Deno itu keren banget buat bikin aplikasi yang lebih secure secara default, terutama kalau kamu mau bikin aplikasi yang jalanin kode dari sumber eksternal atau dipakai di lingkungan yang butuh isolasi kuat.
  4. Kamu Benci nodemodules: Kalau lihat folder nodemodules bikin stres, Deno adalah jawabannya.
  5. Kamu Pengen Bikin Command-Line Tool atau Binary Mandiri: Fitur deno compile itu powerful banget buat distribusi aplikasi atau tool sederhana.
  6. Kamu Tertarik Sama Teknologi Modern dan Web Standards: Deno lebih ngikutin standar web modern, jadi bisa jadi pengalaman yang familiar kalau kamu datang dari dunia frontend.

Deno Mungkin Perlu Ditunda Dulu Kalau:

  1. Project Kamu Udah Gede Banget di Node.js dan Pakai Banyak Library Khusus Node: Migrasi bisa jadi kerjaan besar karena nggak semua library Node.js otomatis jalan di Deno (meskipun compatibility-nya makin bagus).
  2. Kamu Butuh Library yang Hanya Ada di npm dan Nggak Ada Alternatifnya di Deno: Cek dulu ekosistem Deno atau cari tahu apakah library Node.js-nya bisa diakalin biar jalan di Deno.
  3. Tim Kamu Belum Familiar dan Nggak Punya Waktu Buat Belajar Hal Baru: Mengadopsi Deno berarti tim perlu belajar konsep baru (permissions, import URL, toolchain).
  4. Kamu Butuh Stabilitas dan Dukungan Enterprise Level yang Udah Teruji Puluhan Tahun: Node.js punya rekam jejak lebih panjang dalam penggunaan di production skala besar.

Tips Buat Kamu yang Mau Nyoba Deno:

  1. Install Deno: Gampang banget, cek aja panduan instalasi di website resminya deno.land. Biasanya cuma satu baris command.
  2. Baca Dokumentasi Resminya: Dokumentasi Deno itu salah satu yang terbaik. Jelas, lengkap, dan ada banyak contoh. Ini wajib dibaca buat paham fitur-fitur utamanya, terutama soal permission.
  3. Mulai dari yang Kecil: Jangan langsung nyoba pindahin project Node.js yang gede. Coba bikin script sederhana dulu, bikin server HTTP basic, atau bikin tool command-line kecil. Rasain gimana pakainya.
  4. Eksplorasi Tool Bawaannya: Cobain deno fmt, deno lint, deno test, dan deno compile. Pahami gimana mereka bisa bantu workflow-mu.
  5. Pahami Sistem Permissions: Ini kunci utama bedanya Deno. Latihan pakai flag --allow-... biar terbiasa.

Kesimpulan Akhir

Secara pribadi, nyoba Deno itu pengalaman yang seru. Rasanya kayak pakai runtime JavaScript yang 'udah mikirin' banyak hal dari awal: keamanan, tooling, dan keselarasan sama standar web modern.

Buat kamu yang masih muda, lagi belajar, atau pengen eksplor teknologi baru, iya, Deno itu worth it banget buat kamu coba! Kenapa? Karena dia ngasih perspektif beda tentang gimana seharusnya runtime JavaScript/TypeScript itu bekerja. Fitur-fitur modernnya bikin ngoding terasa lebih streamlined di beberapa area, terutama buat project baru.

Apakah Deno akan menggantikan Node.js sepenuhnya? Mungkin nggak dalam waktu dekat. Keduanya punya kekuatan dan kelemahan masing-masing, dan pasar Node.js udah super besar. Tapi Deno bukan cuma 'Node.js versi lain', dia menawarkan pendekatan yang segar dan modern.

Jadi, jangan ragu buat install Deno, coba jalanin script pertama kamu, dan rasain sendiri bedanya. Siapa tahu Deno ternyata lebih cocok buat gaya ngodingmu atau buat project keren yang lagi kamu rencanain. Happy coding!