Deno VS Node js Perlu Kamu Tau Bedanya

Deno VS Node js Perlu Kamu Tau Bedanya
Photo by Pankaj Patel / Unsplash

Oke, siap! Yuk, kita langsung bahas perbandingan seru antara Deno dan Node.js yang perlu banget kamu tau biar nggak ketinggalan info terbaru di dunia backend JavaScript.

Jadi gini guys, dunia pengembangan web itu dinamis banget. Setiap saat ada aja teknologi baru yang muncul atau teknologi lama yang diperbarui. Buat kamu yang berkecimpung di area backend pake JavaScript, pasti udah akrab banget dong sama yang namanya Node.js. Udah bertahun-tahun Node.js jadi tulang punggung buat banyak banget aplikasi web, mulai dari skala kecil sampe yang gede banget. Ekosistemnya bejibun, package NPM-nya nggak kehitung jari, komunitasnya super aktif. Intinya, Node.js itu udah jadi raksasa di dunia backend JavaScript.

Tapi namanya juga teknologi, selalu ada ruang buat perbaikan atau pendekatan baru. Nah, munculah Deno. Yang menarik, Deno ini dibuat sama orang yang sama yang bikin Node.js pertama kali, yaitu Ryan Dahl. Lho, kok bikin lagi? Kan udah ada Node.js? Nah, ini dia serunya. Ryan Dahl sendiri ngaku, ada beberapa hal yang dia sesali dari desain awal Node.js. Dari situlah, dia pengen bikin runtime JavaScript yang lebih modern, lebih aman, dan lebih baik di beberapa aspek. Deno ini bisa dibilang "Node.js versi perbaikan" tapi dengan filosofi yang beda.

Jadi, ini bukan soal mana yang lebih baik secara mutlak, tapi lebih ke memahami perbedaan fundamental antara keduanya, sehingga kamu bisa milih mana yang paling pas buat kebutuhan proyekmu atau sekadar nambah wawasan soal gimana evolusi JavaScript di sisi server. Yuk, kita bedah satu per satu perbedaannya yang paling mencolok.

1. Keamanan (Security): Ini Beda Filosofi Banget!

Salah satu kritik terbesar Ryan Dahl terhadap Node.js adalah soal keamanannya. Di Node.js, secara default, kode yang kamu jalankan punya akses penuh ke sistem file, jaringan, dan lingkungan lainnya. Jadi, kalau kamu nggak hati-hati nginstal package dari NPM yang iseng atau ada celah keamanan di package itu, kode jahat bisa aja ngelakuin hal-hal yang nggak diinginkan di server kamu, kayak baca file sensitif, ngirim data keluar, atau bahkan ngerusak sistem. Agak ngeri ya kalau dipikir-pikir.

Nah, Deno dibangun dengan filosofi keamanan yang beda total: secure by default. Artinya, secara default, Deno nggak punya akses ke file system, nggak bisa ngakses jaringan, nggak bisa ngakses environment variable, dan nggak bisa ngejalanin sub-proses. Semua akses itu harus explicitly dikasih izin lewat flag saat kamu ngejalanin skripnya.

Contohnya gini, kalau kamu mau baca file data.txt di Node.js, tinggal panggil aja fs.readFile('data.txt', ...), dan itu langsung jalan. Di Deno, kalau kamu ngejalanin skrip yang nyoba baca file tanpa izin, Deno bakal langsung kasih error dan skripnya berhenti. Biar bisa baca file, kamu harus ngejalaninnya pakai command: deno run --allow-read main.ts. Kalau mau akses jaringan, tambahin --allow-net. Kalau mau semuanya, pakai --allow-all.

Ini bener-bener game changer soal keamanan. Dengan Deno, kamu jadi punya kontrol granular banget terhadap apa aja yang boleh diakses sama skrip kamu. Ini penting banget terutama kalau kamu ngembangin aplikasi yang sensitif atau kalau kamu sering nginstal package dari sumber eksternal (meskipun di Deno sistem package-nya beda, kita bahas nanti). Filosofi ini bikin Deno terasa lebih aman dan terkendali dari awal.

2. Dukungan TypeScript: Langsung dari "Pabriknya"

JavaScript memang fleksibel, tapi buat proyek yang makin gede dan kompleks, kadang kita butuh "penjaga" biar kodenya lebih terstruktur dan mengurangi kesalahan pas runtime. Di sinilah TypeScript masuk. TypeScript itu superset-nya JavaScript yang nambahin static typing. Di Node.js, kalau mau pakai TypeScript, kita butuh proses tambahan: instal TypeScript, bikin konfigurasi tsconfig.json, terus kompiler TypeScript (tsc) bakal nge-compile kode .ts kita jadi .js biasa sebelum bisa dijalanin pake Node.js. Ada step build tambahan.

Di Deno? Beda lagi. Deno itu punya built-in support buat TypeScript. Jadi, kamu bisa langsung nulis kode pakai .ts dan ngejalaninnya langsung pake command deno run file.ts. Deno secara otomatis bakal nge-kompilasi kode TypeScript kamu secara on-the-fly sebelum dieksekusi. Nggak perlu instal TypeScript terpisah, nggak perlu compile manual di awal. Ini bikin developer experience buat pengguna TypeScript jadi jauh lebih mulus dan sederhana.

Meskipun Deno mendukung TypeScript secara native, kamu tetap bisa kok nulis kode pakai JavaScript biasa (.js) di Deno. Jadi, kamu punya pilihan mau pakai yang mana. Tapi intinya, buat para developer yang udah nyaman atau pengen pindah ke TypeScript, Deno nawarin integrasi yang jauh lebih baik.

3. Sistem Modul: ES Modules dan Import dari URL

Nah, ini juga perbedaan yang cukup signifikan. Di Node.js, awalnya sistem modulnya itu pake CommonJS (pake require() dan module.exports). Seiring perkembangan JavaScript, munculah standarisasi modul yang namanya ES Modules (pake import dan export). Node.js sekarang udah support ES Modules juga, tapi penerapannya kadang agak tricky karena harus ngatur file ekstensi (.mjs) atau nambahin konfigurasi di package.json. Jadi, di ekosistem Node.js, kamu bakal nemuin dua gaya impor modul yang hidup berdampingan.

Deno? Deno dari awal didesain buat full support ES Modules sesuai standar web. Nggak ada CommonJS di Deno. Kamu cuma bisa pake import dan export. Ini bikin kodenya terasa lebih modern dan konsisten dengan standar JavaScript terbaru.

Yang lebih unik lagi, cara Deno ngelola dependensi atau package eksternal. Kalau di Node.js, kamu biasanya instal package pake NPM atau Yarn, dan package-nya bakal disimpan di folder node_modules. Ini kadang bikin folder proyek jadi gede banget dan sering muncul masalah "dependency hell" atau konflik versi.

Di Deno, nggak ada yang namanya NPM, Yarn, atau folder node_modules. Kamu impor modul eksternal langsung dari URL! Ya, beneran dari URL, kayak kamu ngakses resource di web. Contohnya:

typescript
import { serve } from "https://deno.land/std/http/server.ts";

Saat kamu ngejalanin skrip ini pertama kali, Deno bakal ngunduh modul dari URL tersebut, nge-cache di hard drive kamu (di lokasi global, bukan di folder proyek), dan di eksekusi berikutnya, Deno bakal pake versi yang udah di-cache itu. Kalau kamu mau update versi package-nya, tinggal jalanin dengan flag --reload atau --reload=https://... spesifik buat modul yang mau di-reload.

Sistem ini punya плюсы dan минусы. Plusnya, nggak ada node_modules, proyek jadi lebih bersih dan ukurannya kecil. Proses instalasi "ilang", tinggal run aja, Deno yang urus download-nya. Minusnya, ketergantungan langsung ke URL bisa jadi isu kalau sumber URL-nya nggak stabil atau mati. Tapi, Deno punya fitur buat ngunci versi dependensi dengan file deps.ts dan check hash integritas, mirip konsep lock file di Node.js tapi dengan cara yang beda. Selain itu, kebanyakan modul Deno yang stabil ada di deno.land/std (standard library) atau deno.land/x (third-party modules yang di-host dan di-cache sama tim Deno, jadi lebih terpercaya).

4. Standard Library: Langsung Bawaan Deno

Standard Library itu kumpulan modul dasar yang sering dipake buat tugas-tugas umum, kayak baca/tulis file, bikin server HTTP, ngurusin path, dll. Di Node.js, ada standard library juga, tapi kadang fungsinya terasa agak dasar dan beberapa tugas spesifik butuh modul dari NPM (misalnya, buat nanganin request HTTP yang lebih kompleks atau kerja dengan WebSocket).

Deno punya standard library yang lebih komprehensif dan didesain dengan API yang modern, seringkali ngikutin standar Web API. Standard library Deno ada di https://deno.land/std/. Kamu bisa impor modul-modul dari standard library ini langsung pake URL. Contohnya, buat bikin server HTTP:

typescript
import { serve } from "https://deno.land/std/http/server.ts";async function handler(req: Request): Promise {
  const body = "Hello, Deno!";
  return new Response(body, { status: 200 });
}

Standard library Deno ini udah mencakup banyak banget fungsi yang mungkin di Node.js kamu butuh third-party package. Ini ngebantu mengurangi ketergantungan sama ekosistem third-party untuk tugas-tugas dasar, dan juga bikin kode kamu jadi lebih konsisten karena semua pake API dari standard library Deno.

5. Tooling: Serba Bawaan!

Salah satu "kelegaan" yang ditawarkan Deno adalah keberadaan banyak tool penting yang udah built-in. Kalau di Node.js, buat format kode, kamu butuh Prettier atau ESLint. Buat testing, kamu butuh Jest atau Mocha. Buat bundling kode, kamu butuh Webpack atau esbuild. Semua itu harus diinstal terpisah dan dikonfigurasi.

Deno datang dengan tooling dasar yang udah built-in. Ada:

  • deno fmt: Buat otomatis format kode kamu (mirip Prettier).
  • deno lint: Buat ngecek potensi kesalahan di kode kamu (mirip ESLint).

deno test: Runner buat ngejalanin unit test di kode kamu. Kamu cukup nulis test di file dengan pola nama tertentu (misalnya .test.ts atau *.spec.ts), terus jalanin command ini. deno bundle: Buat bundling* kode kamu jadi satu file JavaScript tunggal (mirip Webpack tapi lebih sederhana).

  • deno doc: Buat nge-generate dokumentasi dari kode kamu.
  • deno cache: Buat nge-cache dependensi secara manual.

deno compile: Ini keren banget! Kamu bisa nge-compile skrip Deno kamu jadi satu file executable mandiri (single binary). Jadi, kamu bisa deploy aplikasi Deno tanpa perlu nginstal Deno runtime di server tujuan! Tinggal copy file executable*-nya, dan jalanin.

Dengan tooling yang udah built-in ini, setup proyek di Deno jadi lebih cepet dan simpel. Kamu nggak perlu repot-repot ngatur banyak konfigurasi buat tool-tool terpisah. Semua udah ada di Deno CLI.

6. API Design: Lebih Modern dan Ngikutin Web

Deno punya API yang cenderung lebih modern dan seringkali didasarkan pada Web API standar. Contohnya, Deno menggunakan object Request dan Response standar web untuk HTTP, bukan object request/response khas Node.js. Deno juga mendukung fetch API (yang biasa kamu pake di browser buat bikin request HTTP) secara native di sisi server, nggak kayak di Node.js yang butuh node-fetch atau versi Node.js terbaru yang baru mulai mengadopsi global fetch.

Selain itu, Deno juga mengadopsi penggunaan Promises dan async/await secara lebih konsisten dibanding API Node.js yang masih banyak pake callback atau event emitter untuk operasi asynchronous. Ini bikin kode Deno terasa lebih modern dan lebih mudah dibaca, terutama buat developer yang udah terbiasa ngoding di browser pake API modern.

7. Kematangan dan Ekosistem: Node.js Masih Unggul Telak

Oke, ini poin penting yang nggak bisa dipungkiri. Node.js udah eksis jauh lebih lama dari Deno. Artinya, Node.js udah melewati banyak banget fase pengembangan, bug udah banyak diperbaiki, performa udah dioptimasi habis-habisan. Stabilitasnya udah teruji di berbagai macam skenario.

Yang paling signifikan adalah ekosistemnya. NPM itu repositori package terbesar di dunia. Ada jutaan package siap pakai buat hampir semua kebutuhan, mulai dari framework web (Express, Koa, NestJS), database driver, utility library, tool developer, dll. Kalau kamu butuh sesuatu, kemungkinan besar udah ada package-nya di NPM. Komunitas Node.js juga super besar, banyak tutorial, forum, dan orang yang siap bantu kalau kamu mentok.

Deno, meskipun udah berkembang pesat dan mulai stabil, masih tergolong baru. Ekosistem modulnya di deno.land/x memang tumbuh terus, tapi jumlah dan variasi modulnya masih jauh di bawah NPM. Beberapa package yang critical buat kebutuhan enterprise mungkin belum ada atau belum sematang versi Node.js-nya. Komunitasnya juga masih lebih kecil dibanding Node.js.

Ini bukan kelemahan Deno, tapi lebih ke fakta bahwa Deno masih dalam tahap pertumbuhan. Buat proyek yang butuh third-party package spesifik yang hanya ada di NPM, migrasi ke Deno mungkin bakal butuh usaha lebih atau bahkan nggak memungkinkan saat ini.

8. Performa: Susah Dipukul Rata

Soal performa, ini tricky. Keduanya sama-sama pake V8 JavaScript engine dari Google (engine yang sama yang dipake Chrome). Jadi, performa dasar eksekusi JavaScript-nya mirip. Perbedaan performa biasanya muncul di area I/O (operasi file, jaringan) atau saat start-up.

Node.js udah sangat dioptimalkan selama bertahun-tahun buat throughput I/O yang tinggi. Deno juga punya performa yang bagus di I/O, seringkali menggunakan Rust di balik layarnya untuk operasi sistem yang kritis, yang terkenal cepet.

Di beberapa benchmark awal, Deno kadang terlihat lebih cepet di start-up time karena nggak perlu loading node_modules. Tapi buat aplikasi yang udah jalan, perbandingan performa bisa bervariasi tergantung jenis aplikasinya dan beban kerjanya. Nggak ada jawaban tunggal mana yang selalu lebih cepet. Yang jelas, keduanya sama-sama punya performa yang sangat kapabel buat bikin aplikasi backend yang skalabel. Fokus utama Deno dibanding Node.js lebih ke developer experience, keamanan, dan modernisasi API, bukan semata-mata performa mentah.

Kapan Pakai Node.js, Kapan Pakai Deno?

Dengan semua perbedaan itu, jadi mending pake yang mana?

  • Pake Node.js Kalau:

* Kamu udah nyaman banget dengan ekosistem Node.js dan NPM. Proyek kamu sangat bergantung sama package* spesifik yang cuma ada di NPM. Tim kamu udah punya skillset* yang kuat di Node.js. * Proyeknya butuh stabilitas dan kematangan yang udah teruji di skala enterprise besar (meskipun Deno juga udah makin stabil). Kamu perlu backward compatibility* dengan kode atau sistem yang udah ada yang pake Node.js.

  • Pake Deno Kalau:

Kamu pengen nyoba teknologi yang lebih modern dengan filosofi keamanan yang kuat (secure by default*). Kamu nyaman pakai TypeScript dan pengen developer experience* yang mulus dengannya. * Kamu suka pendekatan impor modul langsung dari URL dan nggak mau ribet sama node_modules. Kamu butuh built-in tooling yang bikin setup* proyek jadi cepet (formatter, linter, tester, bundler, compiler). * Kamu pengen API yang konsisten dengan Web API standar. * Proyeknya masih baru dan kamu punya kebebasan buat milih tumpukan teknologi. Kamu pengen bikin utility script* sederhana yang bisa langsung jalan tanpa instal dependensi lewat NPM. Kamu pengen bikin single binary executable* dari aplikasi kamu.

Masa Depan Deno dan Node.js

Pertarungan" antara Deno dan Node.js ini sebenernya nggak harus dilihat sebagai kompetisi mati-matian. Node.js nggak akan hilang dalam waktu dekat, ekosistemnya terlalu besar dan kuat. Node.js juga terus berkembang dan mengadopsi fitur-fitur baru (misalnya dukungan ES Modules yang makin baik, dan mulai ada built-in fetch).

Deno sendiri terus berkembang pesat. Tim Deno aktif nambahin fitur, ningkatin performa, dan memperluas standard library serta ekosistem modul pihak ketiga. Deno juga semakin banyak diadopsi buat berbagai macam kasus, mulai dari utility script sederhana, serverless function, sampe aplikasi backend yang lebih kompleks. Mereka bahkan punya platform serverless sendiri bernama Deno Deploy yang bikin deploy aplikasi Deno jadi super gampang.

Kemunculan Deno justru memacu inovasi di sisi Node.js juga, bikin Node.js terus berbenah diri. Mungkin di masa depan, fitur-fitur keren dari Deno akan makin banyak diadaptasi ke Node.js, atau sebaliknya, ekosistem Deno makin matang dan bisa menyaingi Node.js.

Kesimpulan

Deno dan Node.js itu dua runtime JavaScript yang powerful buat sisi server, tapi punya filosofi dan pendekatan yang berbeda. Node.js unggul dalam kematangan, stabilitas, dan ekosistem yang masif. Deno unggul dalam keamanan (secure by default), dukungan TypeScript bawaan, standard library yang komprehensif, built-in tooling, dan API yang lebih modern.

Memilih di antara keduanya tergantung kebutuhan proyek, preferensi tim, dan seberapa kamu nyaman dengan teknologi yang lebih baru (Deno) atau yang sudah teruji (Node.js). Yang pasti, sebagai developer JavaScript, penting buat tau bedanya, memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing, supaya kamu bisa bikin keputusan yang tepat dan terus belajar hal-hal baru di dunia coding yang nggak pernah berhenti berkembang ini.

Jadi, udah siap eksplor Deno atau tetap setia sama Node.js? Atau malah pengen nyoba keduanya? Gimana pun pilihanmu, yang penting terus semangat ngoding ya, Guys!