Kenapa Developer Sekarang Lirik Deno?
Deno, runtime JavaScript dan TypeScript yang dibuat oleh kreator Node.js sendiri, Ryan Dahl, memang lagi jadi perbincangan hangat di kalangan developer akhir-akhir ini. Apalagi buat yang udah akrab banget sama ekosistem Node.js, melihat Deno itu kayak melihat versi "nggak papa kalau bikin lagi dari awal tapi perbaikin semua yang kurang" dari Node. Nah, kenapa sih tiba-tiba banyak developer yang melirik Deno? Apa aja kelebihannya yang bikin penasaran? Yuk, kita bongkar satu per satu.
Pertama-tama, mari kita bicara soal keamanan. Ini adalah salah satu perbedaan paling mendasar dan paling signifikan antara Deno dan Node.js. Kalau kamu terbiasa ngerun kode Node.js, kamu pasti sadar kalau script yang kamu jalankan itu punya akses penuh ke sistem kamu secara default. Bisa baca file, nulis file, akses network, akses variabel environment, dan lain-lain, kecuali kalau kamu set up sendiri mekanisme keamanan yang cukup rumit. Ini kadang bikin was-was, apalagi kalau kamu nambahin banyak dependency dari luar yang nggak sepenuhnya kamu pahari isinya.
Nah, Deno ngambil pendekatan yang beda 180 derajat. Di Deno, secara default, nggak ada izin sama sekali buat script kamu. Kamu mau baca file? Butuh izin. Mau akses internet? Butuh izin. Mau nulis ke file? Butuh izin. Mau akses variabel environment? Butuh izin juga. Izin ini diberikan secara eksplisit saat kamu menjalankan scriptnya lewat flag command line, misalnya --allow-read
buat izin baca, --allow-net
buat izin akses network, --allow-env
buat izin akses environment variable, atau --allow-all
buat ngasih semua izin (tapi yang terakhir ini sih mending dihindari kalau nggak bener-bener perlu).
Pendekatan opt-in untuk izin ini bikin developer jauh lebih tenang pas ngerun kode, terutama kode dari sumber yang kurang dikenal atau nambahin library dari luar. Kamu bisa dengan jelas lihat dan kontrol sumber daya apa aja yang diakses sama script kamu. Ini kayak ngasih sandbox kecil buat setiap script yang jalan, meminimalkan risiko keamanan kalau ada malicious code di salah satu dependency kamu. Ini tips pertama yang penting banget: pahami sistem perizinan Deno dan gunakan flag izin ini dengan bijak sesuai kebutuhan scriptmu. Jangan malas buat nentuin izin spesifik dibanding langsung ngasih --allow-all
.
Oke, fitur kedua yang bikin Deno menarik, terutama buat tim yang udah pake TypeScript, adalah dukungan bawaan alias native support buat TypeScript. Di Node.js, kalau mau pake TypeScript, kamu perlu nginstal library tambahan kayak tsc
(TypeScript compiler) dan ngatur proses kompilasinya sendiri. Ada langkah ekstra, ada konfigurasi tambahan, dan kadang proses setup-nya bisa agak bikin pusing, apalagi buat pemula.
Di Deno, ceritanya beda. Kamu bisa langsung nulis kode pake .ts
extension dan Deno bakal langsung ngerti. Deno punya kompiler TypeScript yang terintegrasi di dalamnya. Jadi, kamu nggak perlu repot-repot nginstal TypeScript terpisah, nggak perlu ngatur tsconfig.json
yang kompleks kalau cuma buat kasus sederhana, dan nggak perlu nge-compile manual atau pake tool tambahan buat nge-transpile kode TypeScript kamu jadi JavaScript sebelum dijalankan. Kamu tinggal run aja file .ts
-nya, dan Deno yang urus sisanya.
Ini jelas bikin developer experience (DX) jadi lebih mulus dan cepat, terutama buat proyek-proyek baru atau tim yang memang sudah memutuskan untuk menggunakan TypeScript dari awal. Menulis kode dengan TypeScript itu kan banyak kelebihannya, mulai dari static typing yang bantu nemuin error di awal proses pengembangan, code completion yang lebih baik, sampai kode yang lebih mudah di-maintain dan dipahami. Dengan Deno yang support TypeScript secara native, barrier untuk pakai TypeScript jadi turun drastis. Tipsnya di sini: Kalau kamu atau tim kamu memang sudah familiar atau pengen mulai pake TypeScript, Deno bisa jadi pilihan yang menarik banget karena kemudahannya ini.
Selanjutnya, ini nih yang mungkin jadi highlight buat banyak developer yang trauma sama yang namanya nodemodules. Deno ngucapin selamat tinggal sama npm, yarn, atau package manager tradisional lainnya, dan tentu aja sama folder nodemodules
yang legendaris itu (yang ukurannya kadang bikin geleng-geleng kepala).
Di Deno, sistem manajemen dependency-nya beda banget. Kamu nggak nginstal paket-paket secara lokal di folder node_modules
. Sebaliknya, kamu mengimpor modul langsung dari URL. Iya, kamu nggak salah baca, dari URL, kayak kita ngimpor modul ES di browser. Contoh: import { serve } from "https://deno.land/[email protected]/http/server.ts";
.
Saat kamu pertama kali menjalankan script yang mengimpor modul dari URL, Deno bakal mengunduh modul itu, memverifikasi integritasnya (opsional, bisa pake checksum), lalu menyimpan modul tersebut di cache global di komputermu. Untuk eksekusi selanjutnya, Deno akan menggunakan modul dari cache ini, jadi nggak perlu download lagi. Sistem ini punya beberapa keuntungan. Pertama, nggak ada lagi folder node_modules
yang membengkak di setiap proyek. Semua dependency tersimpan di satu lokasi cache global yang dikelola Deno. Kedua, lebih jelas sumber dependency-nya, langsung dari URL-nya. Ketiga, sistem cache ini juga bisa diatur agar immutable (tidak berubah) atau diatur agar Deno selalu mengecek pembaruan.
Pendekatan ini juga mendorong developer untuk mengimpor modul spesifik yang mereka butuhkan, bukan seluruh package. Misalnya, kalau kamu cuma butuh fungsi serve
dari modul http Deno, kamu cuma mengimpor itu, bukan seluruh library http. Ini bisa bantu menjaga ukuran aplikasi tetap kecil dan loading lebih cepat. Tips terkait ini: Manfaatkan sistem impor berbasis URL ini untuk mengimpor modul spesifik yang kamu butuhkan, dan biasakan cek URL sumber modul yang kamu impor, terutama dari pihak ketiga. Gunakan juga fitur lock file Deno (deno cache --lock=lock.json
) untuk memastikan dependency kamu terkunci pada versi spesifik dan tidak berubah-ubah antar tim atau antar waktu.
Selain tiga poin besar di atas (keamanan, TypeScript native, dan no npm/node_modules), Deno juga datang dengan batteries included. Maksudnya, Deno itu kayak runtime yang udah dikasih banyak perkakas penting di dalamnya. Kalau di Node.js kamu perlu nginstal tool tambahan buat formatting kode (kayak Prettier), linting (kayak ESLint), menjalankan unit test (kayak Jest atau Mocha), atau bahkan bundling, di Deno banyak dari fungsi itu udah ada di executable Deno itu sendiri.
Deno punya built-in formatter (deno fmt
), linter (deno lint
), test runner (deno test
), bundler (deno bundle
), dan debugger/inspector yang berbasis Web standard. Ini sangat mempermudah setup awal proyek. Kamu nggak perlu pusing milih-milih dan ngatur banyak tool terpisah, semuanya udah terintegrasi dan bekerja dengan cara yang konsisten. Ini ngurangin banget boilerplate dan waktu setup, bikin kamu bisa fokus langsung nulis logika bisnis. Tipsnya: Manfaatkan built-in tool Deno ini dari awal. Biasakan jalankan deno fmt
sebelum commit, gunakan deno lint
buat ngecek potensi error, dan tulis unit test yang bisa dijalankan langsung pake deno test
. Ini bikin workflow pengembangan jadi lebih efisien.
Fitur lain yang nggak kalah penting adalah Deno didesain untuk lebih patuh sama Web standard API. Kalau di Node.js ada banyak API yang spesifik ke Node.js (misalnya API buat I/O, filesystem, network), Deno berusaha keras untuk mengimplementasikan API yang sama dengan yang ada di browser. Contohnya, Deno punya implementasi API fetch
secara native. Jadi, buat ngirim request HTTP, kamu nggak perlu nginstal library pihak ketiga kayak node-fetch
atau pake modul http
bawaan Node yang syntax-nya beda sama di browser. Kamu tinggal pake fetch()
aja kayak yang biasa kamu lakukan di frontend.
Selain fetch
, Deno juga mengimplementasikan API Web standard lainnya seperti Web Workers
(untuk menjalankan tugas berat di background tanpa ngeblok main thread), WebSocket
, FileReader
, Blob
, FormData
, dan masih banyak lagi. Ini bikin developer yang terbiasa ngoding di browser ngerasa lebih familiar pas pindah ke Deno buat bikin aplikasi backend atau utility script. Kode yang ditulis buat Deno juga jadi punya potensi lebih besar buat di-re-use di lingkungan browser, atau sebaliknya. Tips: Coba manfaatkan API Web standard ini semaksimal mungkin pas ngoding di Deno. Ini bikin kode kamu jadi lebih portable dan mengurangi ketergantungan sama API yang spesifik di satu runtime aja.
Dan satu lagi yang bikin Deno terasa modern: dukungan top-level await. Di JavaScript biasa atau di Node.js (versi sebelum yang sangat baru dan dengan flag khusus), kamu hanya bisa menggunakan keyword await
di dalam fungsi yang ditandai dengan async
. Kalau kamu mau menggunakan await
langsung di level paling atas dari script kamu (bukan di dalam fungsi), itu nggak bisa. Ini kadang bikin ribet pas nulis script sederhana atau utility script yang butuh nungguin operasi async selesai di awal.
Deno, sesuai dengan standar ECMAScript terbaru, mendukung top-level await secara default. Artinya, kamu bisa langsung pake await
di file utama script kamu tanpa perlu membungkus kode itu dalam fungsi async
yang langsung dipanggil. Ini bikin kode jadi lebih ringkas, lebih gampang dibaca, dan lebih intuitif, terutama buat script-script kecil atau pas kamu lagi eksplorasi. Contoh: Kamu bisa langsung const data = await fetch('...');
di awal file script Deno kamu. Simpel banget, kan?
Selain fitur-fitur inti yang udah disebutin di atas, Deno juga punya standard library yang dikelola oleh tim inti Deno sendiri. Standard library ini menyediakan modul-modul dasar yang sering dibutuhkan, misalnya modul buat filesystem (fs
), HTTP (http
), utility kayak buat nge-handle command line arguments (flags
), testing, dan lain-lain. Modul-modul di standard library ini terjamin kualitasnya dan selalu di-maintain bareng sama runtime Deno-nya. Ini kayak punya seperangkat utility tool dasar yang bisa diandalkan tanpa harus nyari package pihak ketiga buat fungsi-fungsi umum. Tips: Sebelum nyari third-party module buat tugas dasar, coba cek dulu standard library Deno. Kemungkinan fungsi yang kamu butuhkan sudah tersedia di sana dengan kualitas yang terjamin.
Komunitas Deno memang belum sebesar komunitas Node.js yang sudah matang banget, tapi terus berkembang. Banyak module pihak ketiga yang mulai dibuat untuk Deno, mulai dari framework web (kayak Fresh, Oak) sampai database driver dan tool lainnya. Dokumentasi Deno juga terkenal sangat bagus dan up-to-date, bikin developer baru gampang buat mulai belajar.
Jadi, kenapa developer sekarang banyak yang lirik Deno? Intinya, Deno menawarkan runtime JavaScript/TypeScript yang didesain dengan mempertimbangkan pelajaran dari tahun-tahun ekosistem Node.js berjalan. Fokus utamanya di keamanan yang built-in, dukungan TypeScript yang mulus, sistem dependency yang lebih sederhana (tanpa node_modules
), perkakas pengembangan yang terintegrasi, dan kepatuhan terhadap Web standard.
Ini bukan berarti Deno bakal langsung menggantikan Node.js dalam waktu dekat. Node.js punya ekosistem yang luar biasa besar, jutaan package di npm, dan komunitas yang sangat aktif yang sudah ada selama lebih dari satu dekade. Banyak aplikasi besar yang dibangun di atas Node.js dan akan terus berjalan di sana. Migrasi dari Node.js ke Deno juga butuh usaha, terutama karena ada perbedaan dalam API bawaan (walaupun Deno punya layer compatibility buat Node.js) dan cara mengelola dependency.
Tapi Deno menawarkan alternatif yang sangat menarik, terutama untuk proyek-proyek baru, utility script yang butuh keamanan ekstra, atau tim yang memang pengen memulai dengan stack yang lebih modern dan terintegrasi dari awal. Buat developer yang pengen terus update sama perkembangan teknologi, ngulik Deno itu jadi wajib. Kamu bisa belajar banyak tentang desain runtime yang modern, pentingnya keamanan secara default, dan efisiensi workflow pengembangan dengan tool yang terintegrasi.
Gimana cara mulai nyoba Deno? Gampang banget. Kamu tinggal unduh installer-nya dari website resmi Deno (deno.land) sesuai sistem operasi kamu, atau pake command yang disediain di sana. Setelah terinstal, kamu bisa langsung coba jalanin file JavaScript atau TypeScript sederhana. Eksplorasi dokumentasinya, coba bikin server HTTP kecil pake standard library-nya, atau coba porting script Node.js sederhana ke Deno.
Kesimpulannya, Deno bukan cuma sekadar "Node.js yang diperbaiki". Ini adalah runtime yang dibangun dengan filosofi yang sedikit berbeda, dengan penekanan kuat pada keamanan, kesederhanaan dalam manajemen dependency, dan kemudahan penggunaan modern JavaScript/TypeScript serta Web standard. Fitur-fitur seperti built-in security, native TypeScript, no node_modules
, integrated tooling, dan top-level await adalah alasan kuat kenapa developer sekarang banyak yang mulai melirik dan mempertimbangkan Deno untuk proyek-proyek mereka, baik itu buat backend, command line utility, atau script automation. Ini era yang seru banget buat developer JavaScript/TypeScript, ada lebih banyak pilihan runtime yang powerful dan inovatif. Jadi, kalau kamu penasaran, yuk cobain Deno!