Perhatiin 5 Hal Ini di UI/UX Biar Desain Kamu Nggak Kelihatan Aneh

Perhatiin 5 Hal Ini di UI/UX Biar Desain Kamu Nggak Kelihatan Aneh
Photo by Alvaro Reyes / Unsplash

Buat kamu yang lagi belajar atau udah mulai nyemplung ke dunia desain UI/UX, pasti pengen dong bikin tampilan yang nggak cuma keren secara visual tapi juga nyaman dan gampang dipakai sama orang lain. Kadang, kita udah ngerasa desain kita oke banget, eh pas dicoba orang lain kok malah bingung atau kelihatan "aneh" gitu. Nah, biar desain kamu nggak berakhir begini, ada beberapa hal fundamental di UI/UX yang wajib banget kamu perhatiin dari awal. Ini bukan cuma soal tren, tapi lebih ke prinsip dasar yang bikin pengalaman pengguna jadi mulus. Yuk, kita bedah satu per satu.

1. Konsistensi Itu Harga Mati, Bro!

Ini dia nih, poin pertama yang sering kali disepelekan tapi dampaknya gede banget. Bayangin deh, kamu lagi pakai aplikasi atau buka website, terus tiba-tiba gaya tombolnya beda-beda di setiap halaman, ukuran font judulnya berubah-ubah, atau warna utamanya kok kayaknya geser dikit ya? Pasti langsung kerasa nggak rapi, kan? Nah, itulah pentingnya konsistensi.

Konsistensi dalam desain UI/UX itu mencakup banyak hal, mulai dari:

  • Tipografi: Gunakan setidaknya satu atau dua jenis font yang sama di seluruh aplikasi atau website kamu. Tentukan ukuran font untuk judul (heading 1, 2, 3), paragraf, caption, dan elemen teks lainnya. Pastikan hierarki tipografinya jelas dan konsisten di mana pun teks itu muncul. Jangan sampai judul di satu halaman pakai font A ukuran 24pt, terus di halaman lain pakai font B ukuran 20pt padahal level judulnya sama. Ini bikin user bingung dan desain jadi nggak profesional.
  • Warna: Punya palet warna utama? Gunakan palet itu secara konsisten. Tentukan warna untuk primary actions (tombol utama), secondary actions, warna background, warna teks, warna error, warna sukses, dan lain-lain. Patuhi aturan penggunaan warna ini di seluruh desainmu. Misalnya, kalau tombol "Submit" pakai warna biru, jangan di halaman lain tombol yang fungsinya sama malah pakai warna hijau. Pengguna belajar dari pola, dan warna adalah salah satu pola visual yang kuat.
  • Spasi dan Layout: Ini juga krusial. Jarak antar elemen (padding dan margin) harus punya aturan main. Kalau jarak antara judul dan paragraf di satu bagian adalah 16px, usahakan di bagian lain juga sama. Konsistensi dalam spasi bikin tata letak (layout) jadi rapi, mudah dibaca, dan nggak kelihatan acak-acakan. Gunakan sistem grid atau tentukan ukuran spasi yang konsisten (misalnya kelipatan 4px atau 8px) untuk elemen-elemenmu.
  • Komponen dan Elemen UI: Kalau kamu pakai card untuk menampilkan informasi, pastikan semua card punya gaya yang sama (border-radius, shadow, padding internal, tata letak elemen di dalamnya). Tombol, input field, checkbox, radio button, toggle switch – semua komponen ini harus punya gaya visual dan perilaku yang konsisten di seluruh platformmu. Ini sangat membantu pengguna familiar dengan antarmukamu dan mengurangi beban kognitif mereka saat berpindah halaman.
  • Pola Interaksi: Bagaimana feedback saat user mengklik sesuatu? Apakah ada animasi loading yang konsisten? Bagaimana cara menutup modal (pop-up)? Pola interaksi juga harus konsisten. Kalau mengklik tombol "Like" memberikan visual feedback tertentu, pastikan feedback itu sama di mana pun tombol "Like" muncul. Pola interaksi yang konsisten bikin user merasa familiar dan percaya diri saat menggunakan produkmu.

Kenapa konsistensi ini penting banget? Karena otak manusia itu seneng banget sama pola dan prediktabilitas. Kalau desainmu konsisten, user jadi lebih cepat belajar cara kerja antarmukamu, mereka tahu harus mencari apa, dan mereka merasa nyaman karena nggak ada kejutan visual yang bikin kaget atau bingung. Desain yang konsisten juga terlihat lebih profesional dan terpercaya. Anggap aja konsistensi ini "bahasa visual" dari produkmu. Kalau bahasanya berubah-ubah, orang jadi susah ngerti kan?

2. Hierarki Visual Itu Pemandu Jalan

Coba kamu buka koran atau website berita. Pasti ada judul utama yang gede banget, sub-judul yang ukurannya lebih kecil, paragraf berita, gambar, caption, dan elemen-elemen lainnya. Ukuran, warna, tebal font, dan letak elemen-elemen itu sengaja dibikin beda-beda. Tujuannya apa? Buat nuntun mata kamu. Itulah yang namanya hierarki visual.

Hierarki visual adalah cara kita menata elemen-elemen di layar biar pengguna tahu mana informasi yang paling penting, mana yang kurang penting, dan bagaimana hubungan antar informasi tersebut. Otak manusia itu cenderung memproses informasi secara visual dari yang paling menonjol ke yang kurang menonjol.

Cara menciptakan hierarki visual yang jelas:

  • Ukuran: Elemen yang lebih besar biasanya dianggap lebih penting. Judul utama harus lebih besar dari sub-judul, yang lebih besar dari teks paragraf. Tombol primary action (misalnya "Beli Sekarang") mungkin dibuat lebih besar dari secondary action ("Tambah ke Wishlist").
  • Warna dan Kontras: Warna yang cerah atau kontras tinggi akan lebih menarik perhatian. Gunakan warna ini untuk elemen-elemen kunci yang ingin kamu tonjolkan, seperti tombol Call-to-Action (CTA) atau informasi penting. Teks dengan kontras yang baik terhadap background juga lebih mudah dibaca.
  • Bobot (Weight) Font: Menggunakan font tebal (bold) atau ekstra bold bisa menyoroti kata atau frasa penting, seperti judul, sub-judul, atau label form.
  • Spasi (Whitespace): Ruang kosong di sekitar elemen bisa membuatnya menonjol. Elemen yang dikelilingi lebih banyak whitespace akan terlihat lebih penting dan terpisah dari elemen lain.
  • Posisi: Di budaya Barat, mata cenderung membaca dari kiri atas ke kanan bawah (pola 'F' atau 'Z' di web). Menempatkan informasi paling penting di area yang sering dilirik pengguna bisa meningkatkan hierarki visual.
  • Pengelompokan (Grouping): Mengelompokkan elemen-elemen yang berkaitan secara visual (misalnya, label form diletakkan dekat dengan input field-nya, atau produk terkait diletakkan dalam satu bagian) membantu pengguna memahami hubungan antar elemen dan memproses informasi dalam blok-blok yang lebih mudah dicerna.

Kalau hierarki visual kamu nggak jelas, pengguna akan kesulitan memindai (scanning) informasimu. Mereka nggak tahu mana yang harus dibaca duluan, mana yang bisa dilewati, dan apa tindakan selanjutnya yang harus diambil. Akibatnya? Frustrasi, bingung, dan akhirnya ninggalin produkmu. Desain yang hierarkinya kuat itu kayak peta yang jelas, nuntun user ke tujuan mereka tanpa kesasar.

3. Whitespace (Ruang Kosong) Itu Temen Terbaikmu

Banyak orang, terutama yang baru belajar desain, punya kecenderungan untuk mengisi setiap jengkal kosong di layar dengan informasi atau elemen visual. Padahal, justru ruang kosong itu penting banget, bahkan bisa dibilang 'teman terbaik' seorang desainer UI/UX. Ruang kosong ini sering disebut sebagai whitespace, tapi nggak harus selalu berwarna putih ya. Ini adalah area 'negatif' di sekitar dan di antara elemen-elemen desainmu.

Kenapa whitespace penting?

  • Meningkatkan Keterbacaan (Readability): Bayangin paragraf yang jarak antar barisnya (line-height) mepet banget atau jarak antar hurufnya (letter-spacing) terlalu rapat. Pasti susah bacanya kan? Whitespace di sekitar teks, antar paragraf, dan antar elemen visual membantu "napas" pada desainmu, membuat teks lebih mudah dipindai dan dibaca. Ini berlaku juga untuk jarak antar elemen seperti tombol, gambar, atau input field.
  • Mengurangi Kebingungan (Clutter): Kalau semua elemen dempet-dempetan, desain akan terlihat penuh, sesak, dan berantakan. Ini bikin user kewalahan dan nggak tahu harus fokus ke mana. Whitespace membantu memisahkan elemen-elemen, menciptakan batasan visual yang jelas, dan mengurangi beban kognitif pengguna.
  • Menekankan Elemen Penting: Seperti yang dibahas di poin hierarki visual, elemen yang dikelilingi lebih banyak whitespace akan lebih menonjol. Ini bisa jadi tombol CTA, headline utama, atau gambar produk yang ingin kamu tonjolkan. Whitespace kayak sorotan lampu yang bikin elemen itu kelihatan lebih penting.
  • Menciptakan Kesan Profesional dan Elegan: Desain dengan penggunaan whitespace yang baik sering kali terlihat lebih bersih, modern, minimalis, dan profesional. Coba bandingkan website berita lama yang penuh iklan di mana-mana dengan website portofolio desainer yang bersih dan lapang. Rasanya beda banget kan?
  • Membantu Pengelompokan: Whitespace digunakan untuk memisahkan kelompok-kelompok informasi yang berbeda. Misalnya, ada jarak lebih besar antara bagian produk A dan bagian produk B dibandingkan jarak antara elemen-elemen di dalam bagian produk A itu sendiri. Ini membantu pengguna memahami struktur kontenmu.

Ada dua jenis whitespace yang perlu kamu tahu:

  • Macro Whitespace: Ruang kosong di antara layout utama atau bagian besar dari desainmu. Contohnya, jarak antara header dan konten utama, jarak antar section di halaman website, atau margin di pinggir layar. Macro whitespace membantu menyusun struktur dasar halamanmu.
  • Micro Whitespace: Ruang kosong yang lebih kecil, di dalam elemen itu sendiri atau di antara elemen yang saling berdekatan. Contohnya, jarak antar baris teks (line-height), jarak antar huruf (letter-spacing), padding di dalam tombol, atau jarak antara icon dan teks di sebelahnya. Micro whitespace mempengaruhi keterbacaan dan kenyamanan mata dalam memindai detail.

Jadi, jangan takut dengan ruang kosong. Gunakan whitespace secara sengaja dan terukur. Whitespace itu bukan ruang yang "terbuang", tapi alat desain yang powerful untuk meningkatkan usability dan estetika desainmu.

4. Aksesibilitas Itu Buat Semua Orang, Bukan Cuma Buat "Disabilitas"

Mungkin kamu berpikir, "Desain yang aksesibel itu cuma buat orang yang punya keterbatasan fisik atau sensorik." Salah besar! Desain yang aksesibel itu desain yang bisa digunakan oleh sebanyak mungkin orang, dalam berbagai kondisi dan situasi. Dan percaya deh, mendesain secara aksesibel itu nggak cuma bermanfaat buat mereka yang 'secara medis' dianggap disabilitas, tapi juga buat pengguna 'biasa' di berbagai situasi.

Contoh situasi di mana aksesibilitas membantu pengguna "normal":

  • Kamu lagi di luar ruangan yang cerah banget, layar HP-mu susah kelihatan. Kontras warna yang baik akan sangat membantu.
  • Kamu lagi masak atau megang barang lain, cuma bisa pakai satu tangan buat navigasi HP. Desain yang bisa dioperasikan pakai keyboard atau swipe dengan mudah akan sangat membantu.
  • Kamu lagi buru-buru dan pengen cepat dapat informasinya. Hierarki visual yang jelas (yang juga bagian dari aksesibilitas) bikin kamu cepat nemu yang dicari.
  • Kamu udah tua, mata mulai agak rabun. Ukuran font yang bisa diubah dan kontras yang tinggi sangat membantu.

Jadi, desain yang aksesibel itu intinya adalah desain yang kuat, fleksibel, dan mempertimbangkan berbagai kebutuhan pengguna. Ini beberapa hal aksesibilitas yang perlu kamu perhatikan:

  • Kontras Warna: Pastikan kontras antara teks dan background (atau elemen lain) cukup tinggi biar mudah dibaca, terutama buat orang dengan gangguan penglihatan warna atau saat kondisi cahaya kurang ideal. Ada standar rasio kontras (WCAG guidelines) yang bisa kamu pakai sebagai acuan.
  • Ukuran Font dan Skalabilitas: Gunakan ukuran font yang standar dan pastikan pengguna bisa memperbesar teks tanpa merusak layout. Hindari membuat teks dalam bentuk gambar.
  • Navigasi Keyboard: Pastikan semua elemen interaktif (tombol, link, form) bisa diakses dan dioperasikan hanya dengan menggunakan keyboard (pakai tombol Tab, Enter, Spacebar). Ini penting buat pengguna yang nggak bisa pakai mouse atau layar sentuh.
  • Alt Text untuk Gambar: Berikan deskripsi (alt text) untuk setiap gambar informatif. Ini membantu pengguna screen reader (alat bantu baca layar untuk tunanetra) memahami isi gambar.
  • Struktur Semantik: Gunakan elemen HTML yang tepat (h1, p, ul, li, button, link) untuk struktur kontenmu. Ini membantu screen reader dan assistive technology lainnya menafsirkan halamanmu dengan benar.
  • Feedback Jelas: Berikan feedback visual yang jelas saat pengguna berinteraksi, misalnya saat ada error di form, saat tombol diklik, atau saat konten sedang loading. Jangan cuma mengandalkan warna sebagai indikator (misalnya, error cuma ditunjukkan dengan warna merah, tanpa teks penjelasan).
  • Target Tap/Klik yang Cukup Besar: Untuk elemen interaktif seperti tombol atau link, pastikan area yang bisa diklik/tap cukup besar biar mudah dijangkau, terutama di layar sentuh.

Mengabaikan aksesibilitas bukan cuma bikin desainmu susah dipakai, tapi juga bisa dianggap eksklusif atau bahkan diskriminatif. Mendapatkan kebiasaan mendesain secara aksesibel dari awal akan membuat produkmu lebih baik dan bisa menjangkau audiens yang lebih luas. Ini juga menunjukkan bahwa kamu peduli pada semua pengguna.

5. Tes dan Iterasi, Jangan Ngerasa Desainmu Udah Paling Oke

Ini mungkin poin yang paling penting, tapi sering dilewatin juga. Kamu udah berjam-jam, berhari-hari (atau bahkan berminggu-minggu) bikin desain, ngerasa udah paling pas, paling cantik, paling sesuai sama brief. Eits, tunggu dulu. Desain yang kamu buat itu kan buat dipakai orang lain, bukan buat kamu sendiri. Nah, gimana kamu tahu kalau orang lain beneran bisa pakai desainmu dengan mudah? Jawabannya: Tes!

Proses mendesain itu bukan garis lurus dari A ke B. Desain itu proses yang berulang atau iteratif. Kamu bikin desain awal, tes ke beberapa orang, liat gimana mereka pakai (atau kesulitan pakainya), catat feedback mereka, lalu perbaiki desainmu berdasarkan temuan tadi. Ulangi proses ini terus sampai desainmu bener-bener optimal.

Kenapa tes dan iterasi itu wajib?

  • Mengungkap Masalah Usability: Kamu mungkin nggak sadar ada tombol yang penempatannya bikin bingung, alur task yang nggak logis, atau label yang ambigu sampai kamu liat orang lain mencoba pakai desainmu. Pengguna sering kali menemukan cara menggunakan produkmu (atau cara salah menggunakannya) yang nggak pernah terbayang sama kamu.
  • Memvalidasi Asumsi: Kamu punya asumsi tentang cara pengguna berinteraksi atau apa yang mereka butuhkan. Tes pengguna membantu memvalidasi apakah asumsi-asumsi itu benar atau salah.
  • Meningkatkan Pengalaman Pengguna: Dengan memperbaiki desain berdasarkan feedback pengguna, kamu secara langsung meningkatkan kemudahan penggunaan dan kepuasan mereka.
  • Menghemat Waktu dan Biaya: Menemukan masalah usability di tahap desain atau prototype jauh lebih murah dan cepat daripada menemukannya setelah produk sudah dirilis dan harus diperbaiki di live environment.
  • Mendapatkan Perspektif Baru: Pengguna datang dari berbagai latar belakang, punya kebiasaan berbeda, dan cara berpikir yang unik. Melibatkan mereka dalam proses desain memberimu wawasan berharga yang nggak bisa kamu dapatkan kalau cuma berdiskusi sama tim internal.

Gimana cara tesnya? Nggak harus rumit kok di awal. Kamu bisa mulai dari:

  • Tes Internal (Peer Review): Minta teman sesama desainer atau anggota tim lain untuk melihat dan mencoba desainmu. Minta mereka berpura-pura jadi pengguna dan mencoba menyelesaikan task tertentu.
  • Tes Ringan dengan Beberapa Pengguna: Ajak 3-5 orang target audiensmu. Beri mereka prototype desainmu (bisa pakai Figma, Adobe XD, InVision, dll.) dan minta mereka menyelesaikan tugas-tugas spesifik (misalnya, "Coba cari produk A dan masukkan ke keranjang," atau "Coba daftar akun baru"). Amati cara mereka berinteraksi, di mana mereka ragu, dan apa yang mereka katakan. Jangan intervensi terlalu banyak, biarkan mereka 'berjuang' kalau memang susah.
  • A/B Testing (kalau sudah live): Kalau produkmu sudah rilis, kamu bisa tes dua versi desain yang berbeda (misalnya, warna tombol A vs B) ke dua grup pengguna yang berbeda untuk melihat mana yang punya performa lebih baik (misalnya, rasio klik lebih tinggi).

Feedback dari tes pengguna itu emas. Dengarkan baik-baik apa yang mereka katakan dan tunjukkan. Jangan baper kalau desainmu dikritik. Ingat, tujuannya bukan membuktikan desainmu sudah sempurna, tapi mencari tahu di mana letak kesulitannya biar bisa diperbaiki. Proses iterasi inilah yang membedakan desainer UI/UX yang baik dengan yang biasa saja. Desainer yang baik selalu mau belajar dari penggunanya dan terus memperbaiki karyanya.

Mendesain UI/UX yang bagus itu memang butuh perhatian sama detail, mulai dari konsistensi elemen terkecil sampai memastikan semua orang bisa pakai produkmu dan terus mendengarkan feedback dari pengguna. Lima hal tadi – Konsistensi, Hierarki Visual, Whitespace, Aksesibilitas, dan Proses Tes & Iterasi – adalah fondasi yang bakal bikin desain kamu nggak cuma kelihatan keren, tapi juga bekerja dengan baik buat penggunanya. Jadi, mulai sekarang, perhatiin baik-baik lima hal ini ya biar desain UI/UX kamu makin mantap dan nggak kelihatan aneh di mata pengguna!